Primbon Jawa sebuah Kearifan Lokal


                Indonesia merupakan sebuah Negara yang multi etnik. Salah satunya adalah suku jawa. Suku jawa sendiri terdapat sebuah kearifan lokal yaitu primbon jawa. Bagi masyarakat suku jawa, primbon merupakan patokan dalam menjalankan berbagai aspek kehidupan. Menentukan pembangunan rumah, buka kaki ( buka toko pertama kali), menentukan jodoh, menentukan tanggal baik pernikahan, mitoni (tujuh bulanan), adat pernikahan, mitung dina (7 hari)  dan masih banyak lagi.
Pengertian weton sendiri  merupakan gabungan dari tujuh hari tahun masehi dengan lima hari pasaran jawa yaitu legi, pahing, pon, wage dan kliwon. Masing – masing hari mengandung arti yang sangat berbeda. Bahkan seorang bayi yang lahir pada bulan tertentu dengan weton tertentu bisa menjadi anak yang luar biasa. Weton juga dapat membaca karakter anak tersebut, bahkan meramal masa depannya.
            Pemberian nama pada bayi pun terkadang di pengaruhi oleh weton. bila si anak sakit- sakitan , tandanya nama yang terlalu berat sehingga perlu dig anti. Atau bahkan bila ada anak yang wetonnya sama dengan sang ibu, maka anak tersebut harus di buang. Tentu saja sudah ada “skenarionya”. Hal ini  dilakukan agar aura negatif akibat weton yang “tabrakan” bisa di hilangkan.
            Primbon jawa juga mengenal bulan jawa yang terdiri dari Sura, Sapar, Maulud, Bakda Maulud, Bakda Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Ruwah, Puasa, Syawal, Dulkoidah, Besar. Masing – masing bulan memiki arti yang berbeda – beda dan memiliki rujukan yang berbeda. Untuk bulan Sura, Maulud, Puasa dan Dulkoidah sangat terlarang untuk mennyelengarakan hajatan pernikahan. Sedangkan untuk Jumadil Akhir, Ruwah dan Rajab justru sangat dianjurkan untuk menyelenggarakan hajatan.
            Sebenarnya ada beberapa yang memang bisa di jelaskan dengan logika. Bila menyelenggarakan hajatan saat bulan puasa akan sulit waktunya. Karena siang hari umat muslim berpuasa sedangkan malam hari juga waktunya yang sebentar.
            Bagi mereka yang akan menikah dan memiliki keluarga yang masih berpedoman dengan tahun jawa, harus melalui berbagai perhitungan. Tidak jarang ada pasangan yang akhirnya berpisah karena perhitungan yang jelek.  Ada beberapa yang bisa melanjutkan ke jenjang pernikahan tetapi harus dengan berbagai syarat. Pengalaman pribadi salah seorang temanku yang hubungannya harus kandas di tengah jalan karena weton yang katanya “tabrakan” padahal mereka sudah bertunangan.
            Hal inilah yang terkadang menjadi perdebatan antara kaum muda dengan kaum orang tua yang berbeda pemikiran. Mereka yang muda menganggap bahwa weton sudah tidak lagi sejalan dengan masa modern saat ini. Sedangkan mereka yang tua menganggap bahwa kaum muda mulai melupakan adat istiadat.
            Tidak ada yang salah dengan primbon jawa, semuanya memiliki maksud yang baik. Mereka mengajarkan kita untuk selalu berhati – hati dalam melakukan sesuatu. Mengajarkan untuk memperhitungkan segala sesuatu. Contohnya dalam hal pernikahan, hal ini dilakukan agar kita tidak salah dalam memilih pasangan.

            Namun di era globalisasi perlahan kearifan lokal tersebut mulai di tinggalkan oleh masyarakatnya. Hal ini di karenakan mulai percaya bahwa segala sesuatunya Tuhan yang sudah mengatur.  Bahkan saat ini tanggal di tentukan bukan karena hitungan primbon tapi sesuai dengan gedung yang di inginkan atau bahkan ada yang menyesuaikan dengan liburan sekolah.
            Masuknya ajaran agama juga mempengaruhi terhadap penggunaan primbon. Perlahan primbon mulai terisi dengan ajaran agama. Contohnya adalah saat mitung dina atau 7 hari meninggalnya seseorang, dilakukan dengan pengajian bagi yang muslim, misa atau kebaktian bagi kaum nasrani. Sehingga semuanya bisa dilaksanakan dengan baik dan benar.
Hal ini tidak membuat  primbon jawa di tinggalkan. Ada beberapa yang masih menggunakan kebiasaan itu dengan alasan untuk melestarikan kebudayaan. Tidak ada yang salah dengan sebuah kearifan lokal karena hal ini mengajarkan berbagai banyak hal. Salah satunya adalah “rembugan”. Orang jawa memiliki sebuah kebiasaan untuk selalu bermusyawarah dalam mengadakan suatu hajatan. Hal ini di karenakan mereka  masih menghormati para tetua yang ada. Hal inilah yang terkadang justru mempererat keluarga karena adanya sifat sungkan terhadap orang tua. Orang tua pun menjadi merasa di hargai.
Ada yang bilang hal inilah yang terkadang menjadi penyebab kurang berkembangnya masyarakat kita. Mereka takut untuk mengingatkan senior mereka dengan alasan “sungkan”. Padahal terkadang yang tua tidak selalu benar. Kearifan lokal sudah seharusnya tidak membendung segala langkah kita. Kearifan lokal harus tetap di pertahankan karena merupakan warisan dunia dan bukti adanya kejayaan masa dulu. Hanya saja memang harus di sesuaikan dengan kondisi sekarang. Sehingga tidak ada lagi “tabrakan” antara kearifan lokal dengan pemikiran masa kini. Sudah seharusnya kearifan lokal harus di sikapi dengan lebih bijaksana. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menjaga warisan nenek moyang kita?

 

3 komentar

  1. Semanagat mengindonesiakan indonesia...
    semangat Indonesia!!
    salam anak negeri

    mengundang blogger Indonesia hadir di
    Lounge Event Tempat Makan Favorit Blogger+ Indonesia

    Salam Spirit Blogger Indonesia

    BalasHapus
  2. waktu anakku lahir 3 thn lalu , itu aku pakai primbon utk nentuin dia hrs lhir kapan ;p.. operasi soalnya... jd aku bnr2 milihin weton dan tgl yg bgs :D.. Ini anak kedua jg mw aku samain... ntr mw dicari tgl lahirnya yg bgs :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. maap baru tau ada komentar baru..waah salah satu kelebuihan cesar ya hehehe

      Hapus

Hei Terima kasih sudah berkunjung...
Jangan lupa tinggalkan jejak ya..nanti saya akan berkunjung balik...
please jangan tinggalkan link hidup..
Terima Kasih